Manajemen Berbasis Sekolah dalam Kerangka Penguatan Otonomi Sekolah
Rabu, 02/12/2015 12:49:11
Manajemen Berbasis Sekolah dalam Kerangka Penguatan Otonomi Sekolah
A n s a r
Universitas Negeri Gorontalo
Abstrac: School Based Management (SBM) is a gift of freedom (autonomy) to the school to take care of everything related to the operation of the school in order to achieve goals of education effectively and efficiently. Autonomy means empowering principals, teachers, staff, students, parents, and the surrounding communities through the provision of authority to schools so they have a self-reliance, openness, teamwork, accountability, and sustainability. To arrive at an ideal implementation of SBM in accordance with the principles, procedures, and governance of MBS needed to fight hard from all sides.
Key words: School based management, autonomy
Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dari sentralistik menuju pengelolaan manajemen desentralistik merupakan fenomena yang pernah dialami oleh sebahagian besar negara-negara maju dalam mengatasi permasalahan mutu pendidikan yang dihadapinya. Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan Kabupaten/Kota) sebagai otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan akan merupakan suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dalam hal pendanaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan pemerintah daerah memberikan kewenangan (otonomi) yang lebih besar pada tingkat sekolah. Desentralisasi pengelolaan pendidikan merupakan konsep manajemen pendidikan yang diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah dan isu-isu pendidikan yang berkembang sehingga sekolah memiliki “autonomy, accountability, efficiency and equity” (Bullock & Thomas,1997). Pemberian kewenangan tidak bisa hanya sampai pada pemerintah kabupaten/kota kurang memberikan hasil yang memuaskan bahkan cenderung menjadi resistensi bagi kemajuan pendidikan itu sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah secara mental dan structural belum siap menghadapi otonomi pendidikan (Hadiyanto, 2004). Dikhawatirkan desentralisasi ditafsirkan sebagai kesempatan berbuat semaunya sendiri, sesuka hati, bahkan cenderung egosenteris, kesempatan untuk menjadi raja-raja kecil yang boleh mengatur apapun yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Terdapat kecenderungan dewasa ini sentralisasi perpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan sekolah kurang diberikan kewenangan penuh untuk berkreasi mengatur sekolahnya sendiri, sehingga bertentangan dengan konsep MBS.
Pelaksanaan MBS di Indonesia
Penerapan desentralisasi pendidikan di sekolah dikenal dengan istilah School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Istilah yang digunakan dalam rangka pelaksanaan MBS dibeberapa negara sangat beragam, seperti School Management Initiative(SMI) di Hongkong, Site Based Management (SBM) di Amerika Serikat, School-Site Decision Making di Kanada, tetapi kesemuanya itu intinya adalah pemberian otonomi kepada sekolah. Grauwe (2005) menyatakan School-based management, school-based governance, school self-management and school site management: different terms with somewhat different meanings, but all referring to a similar and increasingly popular trend which involves allowing schools more autonomy in decisions about their management; that is, in the use of their human, material and financial resources. Jadi istilah yang digunakan berbeda-beda tetapi hakikat yang terkandung didalamnya tidak lain adalah otonomi sekolah. Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan suatu inovasi dalam pengelolaan sekolah yang memberikan kewenangan luas untuk menggali dan memanfaatkan berbagai sumber daya sesuai dengan prioritas kebutuhan aktual sekolah (Calwel and Spinks, 1988).
MBS sudah menjadi trend internasional dan bagi negara-negara yang telah menerapkannya, meyakini bahwa pendekatan ini akan menjadi resep yang cukup efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Di samping itu ada beberapa alasan penerpan MBS sebagaimana yang dikemukakan oleh Caldwell (1994), yaitu: School-based management is more democratic: School-based management is more relevant: School-based management is less bureaucratic; School-based management allows for greater accountability; School-based management allows for greater mobilisation of resources. Selanjutnya, menurut Bank Dunia alasan penerapan MBS antara lain faktor ekonomi, politik, professional, efisiensi, administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah. Sedangkan, MBS menurut Noble (1996), dapat, (1) meningkatkan prestasi akademik peserta didik (academic achievement), (2) meningkatkan pertanggungjawaban (accountability) diantara para pengambil kebijakan, (3) meningkatkan pemberdayaan (empowerment) ke arah perbaikan budaya sekolah (school culture), dan kegunaan politis (political utility). Di Indonesia, penerapan School Based Management seungguhnya telah di mulai sejak tahun 1970 dan beberapa negara tahun 1980-an. Di Indonesia, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) mulai dirintis secara resmi oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1999, yaitu pada 124 SD/MI di 7 Kabupaten/Kota di Indonesia yang mendapatkan bantuan dan kerjasama dari UNESCO dan UNICEF. Selanjutnya pada tahun 2002 setelah mendapatkan bantuan dana dari pemerintah New Zealand telah menjangkau sebanyak 741 SD/MI,. Sampai dengan tahun 2004, MBS telah diujicobakan pada 1479 SD/MI yang tersebar pada 40 Kabupaten/kota di 9 Provinsi di Indonesia.
Depdiknas melalui dana block grant untuk mendukung pelaksanaan MBS di 30 Provinsi di Indonesia. USAID melalui program Managing Basic Education (MBE) mengembangkan program MBS di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tahun 2005 USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS di 7 Provinsi di Indonesia melalui program Decentralization Basic Education (DBE).
Melihat banyaknya dan keseriusan lembaga-lembaga Internasional memberikan bantuan dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, menunjukkan bahwa betapa penting dan strategisnya MBS itu sebagai upaya memecahkan masalah mutu pendidikan yang dihadapi di Indonesia.
Hasil uji coba MBS yang telah dilakukakan di beberapa sekolah di Indonesia sejak 1999 sampai 2005, menunjukkan hasil yang menggembirakan sehingga model MBS dapat menjadi solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Berdasarkan hasil uji coba dan melihat hasil yang telah dicapai Negara-negara yang menerapkan MBS, pemerintah Indonesia tidak ragu-ragu untuk menetapkan MBS sebagai model manajemen pendidikan di sekolah. Hal ini secara tegas termuat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Bab XIV, pasal 51 butir (1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian sudah menjadi keharusan bagi sekolah-sekolah untuk menerapkan MBS.
Langkah awal dalam penerapan MBS adalah sekolah merumuskan visi, misi, dan tujuan. Sekolah yang akan menerapkan MBS dengan baik maka harus merumuskan visi secara baik yang merupakan jati diri organisasi (Siagian, 1998:135) Visi merupakan cara pandang tentang cita-cita dan harapan yaitu sesuatu yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (Tunggal, 1992:27). Oleh karena itu, dalam merumuskan visi tanda-tanda keberhasilan sudah tampak, artinya ada potensi untuk mencapainya tidak sekedar mimpi belaka (Salusu, 1996). Adapun tujuan penetapan visi, yaitu: (a) mencerminkan apa yang ingin dicapai, (b) memberikan arah dan strategi yang jelas, (c) menjadi perekat dan menyatukan berbagai gagasan stratejik, (d) memiliki orientasi masa depan, € menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan organisasi, dan (f) menjamin kesinambungan kepemimpinan organisasi. Untuk itu, sekolah harus merumuskan visinya secara baik yaitu visi yang dapat mengembangkan inspirasi dan motivasi. Rumusan visi yang baik memenuhi kriteria tertentu seperti yang dinyatakan oleh Gasperz (1996) bahwa visi, (1) singkat, sederhana, dan jelas, (2) menarik, (3) mudah diingat, (4) sesuai dengan nilai-nilai organisasi, (5) terkait dengan kebutuhan pelanggan, (6) bersifat mendorong (melibatkan) orang-orang yang melaksanakan, (7) inspirasional, (8) menantang (challenging), (9) deskripsi dari suatu kondisi ideal, (10) memberikan kriteria pembuatan keputusan yang jelas, (11) tidak memiliki batas waktu (up to date). Dalam merumuskan visi sekolah, kepala sekolah sebagai CEO (Chief Elected Officer) seharusnya menempuh langkah-langkah (1) merangkum informasi, (2) memproses informasi, (3) mengkoseptualisasi suatu visi, dan (4) mengevaluasi visi (locke, 1997:75).
Visi sekolah merupakan visi bersama yang berakar dari visi individu. Oleh karena itu, visi sekolah tidak boleh hanya dibuat oleh kepala sekolah atau seseorang saja, tanpa melibatkan stakeholder. Dalam MBS, visi tidak sekedar untuk memenuhi persyaratan saja dan menjadi barang pajangan karena seluruh aktivitas harus ditujukan kepada pencapaian visi sehingga siapapun yang terkait dengan sekolah harus mengerti, memahami, dan mampu menghayatinya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan perumusan visi sekolah pada umumnya hanya dibuat oleh kepala sekolah dan beberapa sekolah visinya hanya “copy paste” saja sehingga tidak menggambarkan kondisi sekolahnya. Itulah sebabnya, banyak kepala sekolah dan guru-guru tidak memahami dan tidak mengerti tentang visi sekolahnya walaupun sebahagian mampu menghafalnya. Kepala sekolah, guru-guru, pegawai dan stakeholder harus mengerti gambaran yang ingin dicapai dari pernyataan visi yang telah dirumuskan. Itulah sebabnya pernyataan visi harus disertai dengan indikator-indikator pencapaian visi. Ketidakjelasan indicator-indikator pencapaian visi akan menimbulkan kebingungan dalam menetapkan misi, tujuan, dan sasaran sekolah. Perumusan visi sekolah yang baik merupakan prasyarat untuk implementasi MBS yang berhasil.
Untuk mencapai visi sekolah yang telah ditetapkan, sekolah harus merumuskan misi. Pengertian misi dalam Webster’s New Practical School Dictionary, yaitu tugas khusus yang dilakukan seseorang dalam hidupnya atau tugas pelayanan khusus. Misi adalah “mengapanya” yang merupakan jawaban organisasi terhadap mengapa kita ada (Senge, 1990:223), atau gambaran mengenai keberadaannya dan mencerminkan tujuan fundamental organisasi yang berorientasi pada what we belive we can do. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Niremberg “the mission is frequently the moregeneral reason accomplish” (Salusu, 2000). Campbell mengemukakan manfaat perumusan misi yaitu; (1) penting untuk menjelaskan tujuan organisasi, (2) pernyataan misi menggambarkan usaha dan aktivitas yang akan dilakukan untuk mencapai visi, (3) menyatakan nilai-nilai organisasi, (4) penting untuk menjamin bahwa organisasi bertindak sesuai yang diinginkan, pemberi inspirasi, meyakinkan karyawan dan pihak lain yang berpengaruh terhadap organisasi.
Berdasarkan visi dan misi, sekolah harus merumuskan tujuan dan sasaran. Tujuan adalah hasil akhir yang akan dicapai atau dihasilkan dalam waktu satu sampai dengan lima tahun. Sedangkan sasaran merupakan sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan oleh sekolah dalam jangka waktu tahunan, semesteran, triwulanan, atau bulanan. Sasaran diusahakan dalam bentuk kuantitatif sehingga mudah diukur. Pernyataan sasaran yang baik haruslah SMART, yaitu specific, measurable, aggressive and attajnable, result-oriented, timebound (Salusu, 2000).
Implementasi MBS, mengharuskan sekolah menyusun Rencana Strategis Sekolah atau Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan program kegiatan. Dalam membuat RPS dan program kegiatan, sekolah harus mampu melakukan evaluasi diri untuk melihat kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang dalam bahasa perencanaan sering disebut Analisis SWOT. Analisis SWOT harus mendasari penyusunan RPS dan program kegiatan sehingga dapat diimplementasikan.
Pelaksanaan MBS dapat meningkatkan partisipasi dan akuntabiltas. Partisipasi dan akuntabilitas tidak bisa dipisahkan karena akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholder dalam penyelenggaraan manajemen sekolah (Zamroni, 2008). Tujuan utama akuntabilitas adalah terciptanya kepercayaan public terhadap sekolah sehingga mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula. Tingkat partisipasi dari stakeholder terutama dalam pengambilan keputusan yang hanya melihat ukurannya dari aspek kuantitasnya saja yaitu jumlah orang yang hadir terkadang menyesatkan. Misalnya rapat sekolah yang mengundang sebanyak-banyaknya orang untuk hadir tanpa mempertimbangkan peranan masing-masing orang yang diundang.
Untuk mengefektifkan partisipasi dalam pengambilan keputusan Hoy dan Miskel (1978 : 230) menwarkan sebuah model yaitu konsep Zone of Acceptance (ZOA). Menurut konsep ZOA bahwa ada dua jenis tes yang dilakukan dan menghasilkan empat situasi atau tipe dimana seseorang dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Tipe pertama, berada diluar wilayah penerimaan yaitu jika seseorang mempunyai kepentingan pribadi dan memiliki keahlian sehingga bisa memberikan kontribusi, maka berada di luar ZOA, maka harus diberi kesempatan berpartisipasi. Tipe kedua, masuk dalam situasi marjinal, yaitu jika secara pribadi mempunyai kepentingan terhadap keputusan itu tetapi tidak mempunyai keahlian, maka keikutsertaannya perlu dipertimbangkan untung ruginya, kalau lebih menguntungkan maka sebaiknya diikutsrtakan. Tipe ketiga, masuk dalam situasi marjinal, yaitu jika secara pribadi tidak mempunyai kepentingan terhadap keputusan itu tetapi mempunyai keahlian, maka keikutsertaannya perlu dipertimbangkan untung ruginya, kalau lebih menguntungkan maka sebaiknya diikutsertakan. Tipe keempat, berada dalam daerah ZOA yaitu baik secara pribadi tidak mempunyai kepentingan terhadap keputusan itu maupun yang bersangkutan tidak memiliki keahlian, maka seyogyanya tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan menerapkan model ZOA, diharapkan partisipasi dalam pengambilan keputusan di sekolah dapat berjalan lebih efektif.
Untuk keberhasilaan pelaksanaan MBS di sekolah harus didukung budaya mutu. Budaya mutu di sekolah dibangun melalui beberapa pilar yang saling berkaitan antara lain semua warga sekolah harus lebih berfokus pada kebutuhan pelanggan, keterlibatan semua pihak dalam berbagai aktivitas sekolah, pengukuran/penilaian yang kontinyu, komitmen yang tinggi dan konsistensi terhadap mutu oleh semua warga sekolah, serta perbaikan berkelanjutan. Kepala sekolah sebagai pemimpin dituntut untuk mengembangkan budaya mutu dalam rangka dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Menurut Sallis (2006 : 173) bahwa kepemimpinan yang mengembangkan budaya mutu memiliki fungsi utama, yaitu memiliki visi, misi, memiliki komitmen yang jelas terhadap proses mutu, mengkomunikasikan pesan mutu, memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktek lembaga, memberdayakan perkembangan staf, mendesain struktur organisasi sehingga memperjelas tugas dan tanggungjawab serta pemberian delegasi secara tepat, memiliki komitmen menghadapi tantangan baik bersifat organisasional dan budaya, membangun tim yang efektif, serta mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawasi dan mengevaluasi kesuksesan.
Otonomi Sekolah
MBS merupakan bentuk penguatan otonomi kepada sekolah. Otonomi sekolah lebih bermakna pada pemberian kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengatur diri sendiri sesuai karakteristik yang dimiliki dengan tetap mengacu pada kebijakan dan peraturan yang berlaku. Pemberian kewenangan harus diikuti dengan pemberian tanggungjawab, sebab kewenangan tanpa adanya tanggung jawab akan memunculkan kesewenang-wenangan. Dengan adanya kewenangan yang lebih luas dan tanggung jawab, maka sekolah dapat mengelola sumber daya yang dimiliki dan membuat strategi-strategi pengembangan sekolah yang berbasis evaluasi diri dengan mempertimbangkan faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan.
Sekolah sebagai lembaga lembaga pendidikan diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan program-program kurikulum dan pemebelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Sekolah diberi kebebasan dalam inovasi pembelajaran, kebebasan dalam merancang kegiatan intra dan ekstra kurikuler, kewenangan dalam penerimaan siswa baru.
Sekolah juga diberikan kewenangan untuk menggali dan mengelola sumber dana dari masyarakat sesuai kebutuhan pengembangan sekolah. Kewenangan sekolah dalam mendapatkan dana dari masyarakat sering dipermasalahkan seiring dengan adanya program sekolah gratis yang digaungkan oleh beberapa pemda dan program BOS. Adanya program sekolah gratis dan program BOS dimaknai beragam, ada yang berpendapat bahwa sekolah sama sekali tidak boleh mendapatkan dana dari masyarakat karena sepenuhnya sudah ditanggung oleh pemerintah. Menurut pendapat saya program sekolah gratis dan program BOS masih memungkinkan mendapatkan dana dari masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas sekolah. Yang tidak boleh adalah memungut iuran wajib dari siswa/orang tua dengan menentukan jumlah yang harus dibayarkan. Tetapi ketika sekolah membutuhkan dana untuk pengembangan sekolah yang tertuang dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan proposal, dimungkinkan menerima bantuan dari pihak-pihak yang mau membantu. Yang terpenting adalah setiap dana bantuan dari masyarakat sekolah dapat mempertanggungjawabkan.
Dalam bidang ketenagaan sekolah memiliki kewenangan untuk membina dan mengembangkan tenaga-tenaga kependidikan yang professional sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan sekolah. Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sekolah yang selama ini masih disentralisasikan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang sifatnya lebih teknis seyogyanya secara bertahap di serahkan kepada sekolah. Menurut Wohlstetter & Mohrman, dkk (1994: 56-71) terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan, yaitu power/authority, knowledge, information, dan reward. Keempatnya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dan saling bersinergi. Hal ini ditegaskan kembali oleh Mohrman dan Priscilla (1996: 1-8) tentang esensi pokok kewenangan sekolah dalam pengambilan keputusan yang baik dan produktif, yaitu: (1) knowledge of the organization so that employees can improve it, (2) information about student performance and comparisons with other school, dan (3) rewards to acknowledge the extra effort SBM requires as well as to recognize improvements.
Dengan pemberian kewengangan dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kepada sekolah dapat meningkatkan kinerja sekolah dalam bentuk adanya kemandirian sekolah, partisipasi masyarakat meningkat, dan prestasi belajar meningkat.
Salah satu aspek pendorong suksesnya Manajemen berbasis sekolah adalah budaya mutu sekolah yang baik. Budaya mutu di sekolah merupakan nilai-nilai, aktivitas-aktivitas dan simbol-simbol yang menjadi komitmen semua elemen sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Secara kontekstual pada penelitian ini ditemukan bahwa budaya mutu di sekolah meliputi mutu layanan sekolah, mutu guru dan staf sekolah, dan mutu sarana/prasarana sekolah. Sehingga perhatian dan upaya kepala sekolah untuk meningkatkan mutu tercermin pada peningkatan mutu layanan, guru dan staf, dan mutu sarana/prasarana sekolah.
Dalam dunia industri manufaktur mutu telah dikenal lama semenjak tahun 60-an. Pada dekade ini upaya-upaya untuk meningkatkan mutu produksi sangat terikat dengan lingkungan internal organisasi. Hal ini dipengaruhi oleh masih kuatnya pendekatan ilmiah dan birokratis terhadap organisasi. Sehingga mutu menjadi milik organisasi sendiri.
Akan tetapi sekitar tahun 80-an penelitian tentang mutu mengalami revolusi yang menakjubkan. Para ahli ekonomi manufaktur, dalam sejumlah penelitiannya, menemukan bahwa mutu merupakan milik pelanggan. Penemuan ini melatarbelakangi, kemudian, persaingan global pada industri manufaktur dan jasa berkompetisi untuk mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan pelanggan tentang barang dan jasa yang diinginkannya.
Sejauh ini, pemahaman dasar tentang budaya mutu di sekolah merupakan terobosan baru dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa pendidikan secara terorganisir dan profesional. Di tengah tuntutan masyarakat, orang tua, dan stakeholder terhadap mutu pendidikan yang semakin tinggi dan bervariasi, maka sekolah harus mampu untuk membangun tradisi mutu yang berkesinambungan dan terus-menerus.
Budaya mutu dapat didefinisikan sebagai seperangkat norma yang dilandasi oleh nilai-nilai dan keyakinan kemudian termanifestasi pada prilaku-prilaku, aktivitas-aktivitas, dan simbol-simbol di sekolah untuk mencapai tingkat keunggulan yang diharapakan dan diinginkan serta bagaimana mencapianya agar tercipta akuntabilitas sekolah (Vender; 1990; Pokja Bappenas-Depdiknas dlm. Jalal & Supardi (editor), 2001; Lovlock,1998; Murgatroyd &Morgan, 1994; Tenner & De Toro, 1992; Cortada, 1996; Hayel, 1982).
Selama enam dekade pembangunan pendidikan nasional berlangsung isu tentang mutu pendidikan tetap menjadi bagian penting dalam sistim pendidikan nasional di Indonesia secara makro (Depdikbud,1995). Akan tetapi ia belum menjadi sebuah tradisi yang kuat dan mengakar dalam sistim pendidikan secara mikro; ia belum menyentuh sistim persekolahan secara profesional. Kemudian dalam UU RI tentang sistem pendidikan nasional No.20 tahun 2003 telah memberikan apresiasi tentang mutu pendidikan pada tingkat sekolah dalam konteks manajemen sekolah.
Undang-Undang Sisdikanas No.20 tahun 2003 telah menegaskan bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa diperlukan sistem pendidkan nasional. Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efesiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan (UU tentang Sisidiknas, No. 20 Thn. 2003).
Selanjutnya budaya mutu secara eksplisit dapat dipahami dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pada pasal 35 tentang Standar Pendidikan Nasional pasal 35 poin (1) standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala; Selanjutnya poin (3) pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan mutu, dan pengendalian mutu pendidikan.
Ada tiga aspek utama tersirat tentang mutu, dalam Sisdiknas No. 20. tahun 2003, yaitu kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas yang harus dimiliki suatu sekolah. Kompetensi menyangkut mutu luluasan dipersyaratkan untuk memenuhi kompetensi-kompetensi yang terstandar nasional. Akreditasi menyangkut kelengkapan sekolah dengan sumber daya pendidikan sehingga ia dapat memenuhi jaminan lulusan bermutu. Sedangkan akuntabilitas terkait dengan kemampuan suatu sekolah yang terakriditasi dan menghasilkan lulusan yang bermutu dapat dipelihara dalam suatu tradisi atau budaya mutu yang berkelanjutan (Pokja Bappenas-Depdiknas dlm. Jalal dan Supriadi (editor), 2001).
Untuk meningkatkan mutu, sebagai bagian penting dalam sistim manajemen sekolah, maka dibutuhkan upaya-upaya di sekolah. Di sinilah pentingnya kepala sekolah untuk memimpin budaya mutu sebagai peta mental (mental map) berupa nilai-nilai, aktivitas-aktivitas, strategi-strategi bagi semua elemen sekolah dalam memberikan jasa pelayanan pemebelajaran untuk meningkatkan mutu secara maksimal.
Kendala-Kendala Pelaksanaan MBS
Di Indonesia, sebagaimana halnya juga di negara-negara yang telah menerapkan MBS, sering terjadi kekacauan dalam memahami MBS, bahwa seringkali aspek pembelajaran dipahami secara terpisah dengan MBS. Hal ini sebenarnya telah diingatkan oleh David D. Mars; “that changes in the locus of decision-making within SBM should be designed and implemented as part ofsystemic reform-not as and innovation in and of itself. Conversely, avoid implementing SBM as an isolated innovation” (Albert, 1994 : 225). Apa yang dikatakan oleh David D Mars merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam pelaksanaan MBS, jika konsep MBS tidak dipahami sebagai sebuah inovasi yang terpisah dari pembelajaran. Disamping itu, budaya sekolah yang bersifat instan dan menunggu dari atas sehingga ketergantungan kepala sekolah dan guru sangat tinggi. Kata-kata seperti kita menunggu petunjuk dari atas, atau berdasarkan petunjuk”…” sangat sering kita dengar dari kepala sekolah dan guru. Hal tersebut tidak sejalan dengan budaya yang harus dikembangkan dalam MBS, yaitu berpikir positif, proaktif, empati, saling menolong, percaya, keterbukaan, komitmen, integritas dan dedikasi, orientasi kualitas, dan kreatif serat inovatif. Hal lain yang dapat menghambat pelaksanaan MBS yaitu masih adanya intervensi birokrasi pendidikan dan intervensi politik dalam pengelolaan pendidikan. Ke semuanya itu dapat menghambat implementasi MBS, dalam kaitan ini dibutuhkan komitmen bersama untuk mendukung sekolah dalam melaksanakan MBS dengan baik.
Kepala sekolah adalah manajer pendidikan dan ujung tombak dalam mengelola pendidikan pada level sekolah. Kepala sekolah memegang peran kunci untuk keberhasilan implementasi MBS. Oleh karena itu, kepala sekolah harus mempunyai kemampuan manajerial yang professional dalam mengelola sekolahnya. Pengangkatan kepala sekolah hendaknya didasarkan pada kriteria kemampuan sebagaiamana dikemukakan oleh Noble (1996), yaitu leadership skills, strong instructional leaders, community organizer, sharp managers, skilfull facilitators, and optimistic visionaries scholl environment.
Faktor budaya dapat pula menjadi kendala pelaksanaan MBS di sekolah. Kebiasaan guru-guru yang selama ini hanya sebagai pelaksana dari kebijakan-kebijakan dari pusat harus diganti dengan budaya mutu yang inovatif, kreatif dan inisiatif. Untuk itu perlu ada komitmen dari semua pihak untuk dapat mengurangi hambatan-hambatan yang ada.
Penutup
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan sarana yang efektif untuk meningkatkan kemajuan sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Heynolds mengemukakan keyakinannya bahwa MBS dapat membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu (a) kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada peserta didik, orang tua siswa, dan masyarakat, serta (b) kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.
Untuk keberhasilan implementasi MBS, harus dikembangkan paradigma berpikir antara lain; menghapus orientasi berpikir ke atas, ke pusat, dan sikap menunggu, mengembangkan sikap mental antisipatif dan inisiatif, mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan, hambatan-hambatan, dan potensi yang dimiliki; membangun kemampuan memenuhi kebutuhan, dan mengatasi hambatan, membangun kemampuan mengelola potensi, membangun kualitas guru secara individual, membangun dan mengembangkan metode baru dalam menilai dan menggolongkan-golongkan siswa, serta membangun komunitas sekolah sebagai wadah belajar bersama. Hal ini membutuhkan komitemen penuh dari seluruh stakeholders.
Sumber: Prosiding Seminar dan Konferensi Internasional ICEMAL, Universitas Negeri Malang.
Daftar Rujukan
Ansar dan Masaong. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah; Teori, Model, dan Implementasi di Sekolah Dasar. Nurul Jannah.
Bullock, A. and Thomas, H. 1997. Schools At The Centre? A Study of Decentralitation. London: Routledge 11 New Fetter lane.
Caldwell, Brian. 1994. School-based Management, International Encyclopedia of Education, ed. By Torsten Hussen and T. Neville Postlethwaite, 5302-5308. Oxford : Pergamon.
Dimmock, Clive. 1993. School-based Management and School Effectiveness. London.
Grauwe, DA. 1999. The Challenges for the School of the Future. IIP Newsletter.
Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen pendidikan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Headington, R. (2000) Monitoring, Assesment, Recording, Reporting, and Accountability, meeting the standars. London : David Fulton Publisher
Hoy, Wayne K, dan Miskel LG. 1978. Educational Administration;Theory, Research, and Practice. New York: Random House.
Wohlstetter,P. dan Mohrman, S.A. 1994. School-Based Management, Organizing for High Performance. San Fransisco : Jossey-Bass Publisher.
Noble, AJ. Deemer, S. and Davis B. School-based management. 1996. http://w.w.w.rdc.uded.edupb9601.html.
Sallis, E. 2006. Total Quality Management in Education. Edisi Indonesia. Jogyakarta : Penerbit IRCisod
Salusu, 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik; untuk oranisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta : PT. Grasindo.
Senge, PM. 1990. The Fith Disicpline; the Arts and Practice of learning Organization. New York : Dobleday.
Siagian, SP. 1998. Manajemen Stratejik. Jakarta : Bumi Aksara.
Tunggal, AW. 1994. Manajemen Stratejik. Jakarta : Harvarindo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem pendidikan Nasional.
Posting oleh Teguh Triwiyanto 9 tahun yang lalu - Dibaca 77338 kali
Tag :
#Manajemen Berbasis Sekolah # Otonomi Sekolah
Berikan Komentar Anda
Artikel Pilihan
Bacaan Lainnya

Artikel
Senin, 08/03/2021 10:49:35Digitalisasi Percepat Transformasi Layanan Pendidikan
JAKARTA - Sejak pandemi melanda, sekolah-sekolah diliburkan dan kegiatan belajar mengajar dilakukan dari rumah....
Artikel
Selasa, 02/03/2021 09:57:29KESIAPAN MENGHADAPI PERUBAHAN PADA GURU SEKOLAH DASAR TERHADAP JENIS BUDAYA DAN DUKUNGAN ORGANISASI
Abstract: The study investigates the relation of the readiness for change of an elementary school...
7 Pilar MBS

Pilar
Tujuh pilar MBS yaitu kurikulum dan pembelajaran, peserta didik pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, hubungan sekolah dan masyarakat, dan budaya dan lingkungan sekolah.
Manajemen kurikulum dan pembelajaran berbasis sekolah adalah pengaturan kurikulum dan...
Informasi Terbaru
Penelitian

Penelitian
http://journal.um.ac.id/index.php/jmp/article/view/6093
Modul dan Pedoman

Digitalisasi Percepat Transformasi Layanan...
Senin, 08/03/2021 10:49:35
KESIAPAN MENGHADAPI PERUBAHAN PADA GURU SEKOLAH...
Selasa, 02/03/2021 09:57:29
PROFIL KARAKTER SEMANGAT KEBANGSAAN PADA SEKOLAH...
Senin, 15/02/2021 15:16:57
PENINGKATAN PARTISIPASI ORANGTUA PESERTA DIDIK...
Rabu, 03/02/2021 08:59:00
PROFIL KARAKTER SEMANGAT KEBANGSAAN PADA SEKOLAH...
Minggu, 24/01/2021 07:23:27
PEMBINAAN POTENSI KEPEMIMPINAN SISWA MELALUI...
Senin, 14/12/2020 09:18:40
Pengembangan Budaya Organisasi Sekolah Swasta...
Senin, 30/11/2020 09:07:18
Implementasi Kurikulum dan Pembelajaran di Masa...
Senin, 09/11/2020 08:38:41
Fokus Hari Ini
Tags
Berita Pilihan

Digitalisasi Percepat Transformasi Layanan...
Senin, 08/03/2021 10:49:35
KESIAPAN MENGHADAPI PERUBAHAN PADA GURU SEKOLAH...
Selasa, 02/03/2021 09:57:29
PROFIL KARAKTER SEMANGAT KEBANGSAAN PADA SEKOLAH...
Senin, 15/02/2021 15:16:57
PENINGKATAN PARTISIPASI ORANGTUA PESERTA DIDIK...
Rabu, 03/02/2021 08:59:00
PROFIL KARAKTER SEMANGAT KEBANGSAAN PADA SEKOLAH...
Minggu, 24/01/2021 07:23:27
PEMBINAAN POTENSI KEPEMIMPINAN SISWA MELALUI...
Senin, 14/12/2020 09:18:40
Pengembangan Budaya Organisasi Sekolah Swasta...
Senin, 30/11/2020 09:07:18
Implementasi Kurikulum dan Pembelajaran di Masa...
Senin, 09/11/2020 08:38:41
Terpopuler
Modul MBS

Paket Pelatihan 3
11 tahun yang lalu - dibaca 139391 kali

Paket Pelatihan 2
11 tahun yang lalu - dibaca 111692 kali

Paket Pelatihan 1
11 tahun yang lalu - dibaca 156481 kali

Berbagi Pengalaman Praktik yang Baik
11 tahun yang lalu - dibaca 117075 kali

MODUL 6 UNIT 3
9 tahun yang lalu - dibaca 122105 kali

Modul Pelatihan 6: Praktik Yang Baik
9 tahun yang lalu - dibaca 136763 kali

Panduan Lokakarya Bagi Fasilitator...
11 tahun yang lalu - dibaca 116286 kali

Praktik Yang Baik: Modul Keuangan...
11 tahun yang lalu - dibaca 93802 kali
Info MBS
3 Inspirasi Manajemen Berbasis Sekolah...
4 tahun yang lalu - dibaca 28609 kali

Melihat Kendala Terberat Saat Membuka...
4 tahun yang lalu - dibaca 29440 kali

Kemendikbud: Belajar dari Rumah Tidak...
5 tahun yang lalu - dibaca 49241 kali

Nasib Pelajar di Tengah Pandemi
5 tahun yang lalu - dibaca 55099 kali

Survei Kemendikbud: Peran Orangtua...
5 tahun yang lalu - dibaca 70468 kali

Hadapi Pandemi Covid-19, Kemendikbud...
5 tahun yang lalu - dibaca 44461 kali
Kemendikbud: Tahun Ajaran Baru Bukan...
5 tahun yang lalu - dibaca 43299 kali

New Normal di Dunia Pendidikan : PGRI...
5 tahun yang lalu - dibaca 62415 kali