Kepala Sekolah dari Guru Profesional
Teguh Triwiyanto. Seperti dalam lingkaran yang saling kait mengkait dan tidak berujung pangkal, kepala sekolah profesional berasal dari guru profesional. Guru profesional tentu diharapkan akan memperbaiki mutu pendidikan, dengan sendi
rinya dengan kepala sekolah profesional harapan perbaikan mutu menjadi lebih mudah tercapai. Kajian mengenai profesionalisme guru sendiri menghasilkan temuan yang bervariatif. Penelitian Tim Pengembang Program Bermutu menyatakan bahwa kualifikasi dan sertifikasi guru memberi dampak terhadap percepatan belajar siswa (Suparno dan Kamdi, 2008:3). Hidayati (2008) memperlihatkan bahwa peningkatan profesionalisme pendidik tidak ber
pengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan, sehingga tidaklah terlalu dini bila disimpulkan bahwa tidak ada relevansi antara kebijakan sertifikasi pendidik dengan peningkatan kesejahteraan pendidik dan mutu pendidikan. Darmaningtyas (2009:139) menganggap menaikan tunjangan, karena lulus program sertifikasi, guru hanya akan mubadzir saja, sebab tunjangan itu tidak ada sedikitpun yang diinvestasikan untuk pengembangan diri. Secara umum Herzberg (Cushway & Lodge, 1995 : 139) berpendapat bahwa uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi, hal ini sering kali pekerjaan dilakukan bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi kerena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Sementara itu, guru yang berhasil lulus sertifikasi dan mendapatkan tambahan kesejahteraan juga menghadapi persoalan dan beban yang berat. Beban ini terkait dengan perbaikan kinerja, terutama peningkatan prestasi peserta didik. Supriyoko (2009) mengatakan bahwa sertifikasi berdampak menambah kesejahteraan keluarga guru, ini fakta tidak terbantahkan. Sekitar 60 persen dari ratusan guru yang diwawancarai menggunakan tambahan penghasilannya itu untuk membeli laptop guna meningkatkan produktivitas pengajaran. Sampai di sini, tunjangan profesi berdampak positif terhadap kesejahteraan keluarga dan pemenuhan perangkat pembelajaran. Namun, saat ditanyakan apakah tunjangan profesi yang diterima berpengaruh pada peningkatan prestasi belajar anak didik, mereka kesulitan untuk menjawab secara lugas. Sebagian guru menyatakan, tunjangan profesi yang diterima belum berpengaruh pada prestasi belajar anak didik. Sebagian lagi menjawab tidak tahu, tidak yakin, dan yang lain menjawab ada pengaruh positif meski masih amat kecil.
Sebaliknya pemberian lisensi kepala sekolah sampai hari ini belum dilaksanakan dengan baik, bahkan peraturan mengenai ini pun belum ada. Pelaksanaan lisensi kepala sekolah bukan tidak mungkin akan menghadapi persoalan-persoalan pelik seperti halnya sertifikasi pada guru. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha melihat persoalan lisensi kepala sekolah, terutama perbandingan dengan sertifikasi guru. Sertifikasi guru dijadikan landasan kajian, terutama untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari lisensi kepala sekolah.
LISENSI KEPALA SEKOLAH; BELAJAR DARI SERTIFIKASI GURU
Memperbarui ke
mampuan dan program pembelajaran yang mempersiapkan peserta didik di masa datang dengan cara-cara profesional merupakan tanggung jawab bagi semua orang yang menyebut dirinya guru atau pendidik. Tanggung jawab profesi melekat pada guru dan menjadi karateristik dalam menjalankan tugas-tugas mendidik dan mengajar peserta didik. Profesional digambarkan Case (2009:8) memiliki tiga karakteristik: pelatihan khusus yang diperoleh lewat pendidikan formal, pengakuan publik terhadap otonomi komunitas praktisi untuk mengatur standar pelaksanaan profesi itu, dan komitmen untuk memberikan layanan kepada publik yang lebih penting dari kesejahteraan ekonomi praktisi.
Tiga karakteristik profesional seperti yang diungkapkan di atas memiliki makna bahwa guru merupakan sebuah pekerjaan yang didalamnya terdapat tugas-tugas dan tanggung jawab seperti yang tersebut dalam suatu pekerjaan profesional. Ini berarti guru adalah profesi, yaitu suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Wijaya (1991:1) mengatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Artinya, bahwa pekerjaan itu tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut. Terkait dengan profesi guru tersebut, Amstrong (1977:32) membagi tugas dan tanggung jawab guru menjadi lima, yaitu tanggung jawab pengajaran, tanggung jawab bimbingan, pengembangan kurikulum, pengembangan profesi dan membina hubungan dengan masyarakat.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru berkedudukan sebagai tenaga profesional yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak atas tunjangan profesi yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi (UU No. 14 Tahun 2005). Tunjangan profesi tersebut diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Nomor 14 Tahun 2005). Kompetensi guru sebagaimana dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi guru. Uji kompetensi guru berbentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan proses dan bentuk pengakuan atas pelbagai pengalaman profesional para guru selama berkarier sebagai guru. Pengalaman profesional guru dapat dilihat dari rekam jejak karya dan aktivitas guru yang tergambar dalam portofolio. Portofolio yang disusun oleh guru memuat 10 macam dokumen, yaitu (1) kualifikasi akademik yang dimiliki; (2) pendidikan dan pelatihan yang diikuti; (3) pengalaman mengajar sebagai guru; (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan; (5) penilaian oleh atasan; (6) prestasi akademik yang diraih; (7) karya pengembanganprofesi yang dimiliki; (8) keikutsertaan dalam pelbagai kegiatan ilmiah; (9) pengalaman dalam organisasi kependidikan dan sosial yang diikuti; dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan yang pernah diterima.
Dikaitkan dengan penilaian, Wiyono dan Maisyaroh (2008:2) menjelaskan bahwa penilaian berbasis portofolio merupakan salah satu bentuk “performance assesment”. Penilaian berbasis portofolio adalah strategi untuk mengetahui kemampuan guru yang sebenarnya, serta untuk mengetahui perkembangan guru dalam menjalani profesinya. Hasil kerja guru diperbarui secara berkelanjutan yang mencerminkan perkembangan kemampuan guru. Portofolio menyajikan atau memberikan “bukti” yang lebih jelas atau lebih lengkap tentang kinerja, membantu menilai kemajuan, dan bahan lengkap untuk berdiskusi dengan teman sejawat, kepala sekolah maupun pengawas.
Kesulitan guru dalam program sertifikasi melalui portofolio dengan frekuensi paling besar dari hasil penelitian ini yaitu mengumpulkan data fisik untuk portofolio (Triwiyanto, 2010:7). Hasil penelitian tersebut relevan dengan penelitian Rokhman (2008) yang menunjukkan bahwa kendala yang dialami guru untuk menjadi profesional mencakup: waktu, fasilitas (sarana dan prasarana), dan kesempatan pelatihan yang tidak merata. Temuan penelitian ini juga memperkuat fakta bahwa guru memang memiliki keterbatasan waktu untuk melengkapi semua komponen data fisik, selain keterbatasan fasilitas. Bukti-bukti fisik dalam hal penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan karya pengembangan profesi semakin sulit terpenuhi, sebab kesempatan-kesempatan tersebut tidak dapat dinikmati oleh semua guru.
Sisi lain dari keterbatasan guru untuk menjadi profesional yaitu pengembangan profesi yang belum optimal dilakukan. Jika penemuan ini dijadikan landasan, maka keterbatasan pengembangan profesi guru salah satunya dikarenakan oleh keterbatasan waktu. Sementara itu Atmono (2006:86) menyimpulkan bahwa yang menjadi penyebab atau kendala guru belum mampu dan mau melakukan pengembangan profesi dikarenakan sebagian guru belum mengetahui secara tepat dan pasti bagaimana bentuk kegiatan pengembangan profesi.
Kondisi di atas juga relevan dengan hasil penelitian Wiyono (2008:124) dan Priyatini (2007:98) yang menunjukkan bahwa rata-rata keikutsertaan guru SD dalam kegiatan pengembangan profesional guru belum memuaskan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa ada hubungan struktural antara persepsi terhadap program sertifikasi, sikap terhadap program sertifikasi, dan keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan dan tingkat profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas.
Program sertifikasi melalui portofolio juga memperlihatkan bahwa aspek kesulitan paling menonjol berasal dari luar (eksternal) guru yang bersangkutan (Triwiyanto, 2010:7). Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain: keterlambatan informasi dari dinas pendidikan; koordinasi antar sekolah, dinas pendidikan dan perguruan tinggi selaku asesor kurang berjalan baik; kebijakan pemerintah yang berubah-berubah; persyaratan portofolio terlalu rumit; kurang jelasnya kriteria penilaian perpointnya; dinas pendidikan minim memberikan sosialisasi; terdapat oknum dinas pendidikan yang meminta uang; beban tugas yang berat sehingga kurang maksimal mengerjakan portofolio; kepala sekolah memberi nilai rendah; kesulitan-kesulitan eksternal tersebut merupakan persepsi guru terhadap institusi dan regulasi terhadap program sertifikasi. Tentu saja karena berupa persepsi maka penyikapan terhadap institusi dan regulasi tersebut berbeda-beda dari masing-masing guru.
Temuan penelitian tersebut memiliki makna bahwa motif-motif sosial memiliki hubungan dengan perilaku profesi seorang guru. Selaras dengan temuan tersebut tampak juga pada temuan Subandowo (2009:15), bahwa motif-motif sosial sebagaimana terurai pada faset prestatif, afiliasi maupun kekuasaan yang terindikasi dalam usaha dalam ukuran standar keunggulan, kerjasama keintiman atau kemampuan dalam kerjasama dengan kemampuan dominasi dalam berpendapat sangat kuat hubungannya dengan perilaku profesi seorang guru sebagai wujud dari implementasi dari kompetensi social seorang guru.
Selain persoalan-persoalan tersebut di atas, hal lain yang muncul yaitu berupa timbulnya berbagai macam aksi kecurangan dalam menyikapi program sertifikasi melalui portofolio. Temuan Hidayati (2008) menyatakan bahwa timbulnya berbagai macam aksi kecurangan mulai dari ijazah palsu hingga amplop berisi uang yang mewarnai proses penilaian portofolio dalam sertifikasi pendidik adalah akibat dari ketidakadilan sistem. Oknum pendidik pun akhirnya dikambinghitamkan dalam kasus-kasus kecurangan tersebut sebagai individu yang bermental korup dan tidak patut untuk menjadi pendidik yang seharusnya dapat menjadi suri tauladan yang ideal bagi peserta didik. Padahal jika mau berpikir kritis, sebenarnya sistem sertifikasi pendidiklah yang telah memberikan kesempatan pada oknum pendidik untuk melakukan kecurangan.
Sebenarnya selain kesulitan-kesulitan internal di atas, kemampuan akademis guru SD juga masih memperihatinkan. Hal ini dapat di lihat dari guru baru dalam mengerjakan soal yang diberikan pada mereka pada waktu mengikuti pelatihan calon Pegawai Negeri Sipil. Data dari Direktorat PMPTK memperlihatkan tes yang diberikan sesuai dengan jenjang sekolah dimana guru ditugaskan memperlihatkan, guru SD diberi soal 100 hasil rerata nilai skor yang benar 37.82, dengan standard deviasi 8.01, skor terendah 5 dan skor tertinggi 77. Dari data tersebut dapat dilihat dua hal yaitu; bagaimana kualitas guru baru lulusan pendidikan guru dan bagaimana ketimpangan kualitas yang mencerminkan ketimpangan kualitas pendidikan guru di Indonesia.
Kemampuan guru yang kurang menggembirakan seperti diungkapkan di atas merupakan titik balik dari persoalan pendidikan secara umum, khususnya perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga guru. Soetopo (2009:59) menyatakan bahwa selama ini ada sinyalemen dari berbagai pihak bahwa lembaga pendidikan tenaga kependidikan mengalami degradasi. Indikator degradasi itu adalah rendahnya mutu lulusan LPTK dengan bukti: (1) tidak terkuasainya materi belajar yang seharusnya mereka ajarkan di sekolah; dan (2) tidak siapnya lulusan untuk ditempatkan di luar daerah tempat kelahirannya atau daerah-daerah terpencil.
Degradasi yang disebutkan di atas dapat juga dilacak melalui pandangan masyarakat terhadap LPTK. Zamroni (2008) mengatakan bahwa, lembaga pendidikan guru sebagai perguruan tinggi dianggap sebagai perguruan tinggi kelas dua. Peserta didik yang cerdas yang pada umumnya berada di “SMA favorit” jarang yang masuk ke pendidikan guru. Penguasaan materi bidang studi para sarjana pendidikan dinilai lemah, tidak sebagus penguasan bidang studi sarjana umum. Berbagai pengalaman menunjukan testing penerimaan guru SMA swasta favorit, hampir-hampir sarjana pendidikan kalah bersaing dengan sarjana lulusan ilmu murni untuk menjadi guru. Lebih ironis lagi nilai mereka kalah termasuk pada waktu praktik mengajar. Kemampuan praktik mengajar sarjana pendidikan kalah dengan sarjana non-kependidikan. Hal ini menunjukan bahwa penguasaan materi bidang studi merupakan hal yang vital bagi calon guru. Dikatakan hampir-hampir, karena untuk sarjana pendidikan bahasa secara umum mengalahkan sarjana non-kependidikan. Kita bisa berdebat panjang lebar, tetapi inilah fakta di lapangan. Sekali lagi sarjana pendidikan kalah bersaing dengan sarjana nonkependidikan untuk memperoleh pekerjaan sebagai guru. Memang, tetap harus diyakini bahwa kemampuan peguasaan bidang studi saja tidak cukup, melainkan calon guru harus menguasai berbagai aspek pedagogik, seperti pemahaman akan peserta didik, evaluasi, dan strategi belajar mengajar.
Sastroatmodjo (2009) memberikan peringatan juga bahwa program sertifikasi telah ikut memicu kejadian-kejadian ekstrem yang menimbulkan keirian. Misalnya muncul kecemburuan antarguru di sebuah sekolah. Sertifikat seolah-olah hanya menjadi alat untuk menjustifikasi seseorang mendapatkan tunjangan. Selain itu kelemahan tersebut, kelemahan lain yang menonjol adalah rentan rekayasa data. Kelemahan ini tampaknya berangkat dari pengalaman sulitnya pengumpulan bukti-bukti fisik dan lemahnya sistem dokumentasi oleh guru. Kedua kesulitan tersebut menjadikan beberapa guru mencari jalan pintas, berbagai cara dilakukan untuk membuat dan melengkapi bukti-bukti fisik.
Kondisi sertifikasi guru yang ternyata memiliki prolematika tidak sedikit memang menjadi sebuah keraguan pemberian lisensi calon kepala sekolah. Keraguan tersebut berpulang pada keberadaan calon kepala sekolah yang notabene guru. Tentu akan banyak dijumpai kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi oleh calon-calon kepala sekolah, di sisi lainnya tentu saja akan mengundang kecurangan dari oknum-oknum yang mengabaikan perbaikan mutu pendidikan.
HAMBATAN-HAMBATAN LISENSI KEPALA SEKOLAH
Penulis akan memberikan beberapa gambaran mengenai hambatan yang mungkin muncul, terutama setelah keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2010 tentang pemberian tugas tambahan guru sebagai kepala sekolah. Hambatan tersebut berupa implementasi dari peraturan tersebut, terutama mekanisme rekrutmen calon kepala sekolah sampai dengan pemberian lisensi dari lembaga terkait.
Keberadaan permendiknas memang disikapi beragam oleh daerah (kabupaten/kota). Beberapa daerah memang tenang-tenang saja dan tidak bereaksi berlebihan. Tetapi beberapa daerah merasa keberatan dengan permendiknas. Alih-alih menerima, sebagian merasa kewenangannya merasa dipangkas. Maka, isu politisasi jabatan kepala sekolah memang bukan isapan jempol belaka. Calon-calon kepala sekolah selama ini seperti menjadi alat bagi kekuasaan buppati/walikota, kepentingan politik dan hitung-hitungan politik aromanya kuat tercium. Keberadaan permendiknas ini memang seakan memang seperti melucuti (depolitisasi) kekuasaan daerah. Tapi taring permendiknas ini pun tidak seberapa, sebab Kementerian Dalam Negeri yang notabene “bos” buapati/walikota tidak meneken peraturan ini. Jadi bupati/walikota dengan leluasa akan berkelit dan mengabaikan permendiknas ini.
Tentu saja tidak semua pemimpin daerah gusar dengan turunnya permendiknas yang mengatur kepala sekolah ini. Sebab banyak juga yang sadar bahwa peraturan ini merupakan usaha pemerintah (pusat) membenahi mutu pendidikan, khususnya mutu kepala sekolah. Walaupun kesadaran tersebut juga tidak cukup, sebab implemantasi dari permendikas ini pun masih membutuhkan penanganan yang sinergi setiap komponen, kalau tidak maka titik-titik rawan terjadi penyelewengan terbuka pada setiap tahap pengadaan kepala sekolah ini.
Titik rawan dapat terjadi pada seleksi awal pengadaan kepala sekolah. Pendataan yang dilakukan dua tahun proyeksi kebutuhan (pasal 3) yang dilakukan oleh dinas pendidikan, dengan kondisi saat ini memang terdapat kendala. Arus komunikasi antara daerah dan pusat sampai saat ini masih dijumpai banyak kendala, daerah merasa otonom sementara pusat merasa memiliki tanggung jawab menjaga mutu kepala sekolah. Implikasi yang paling mungkin terjadi yaitu data yang tidak sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap daerah. Ujung-ujungnya pengadaan dan distribusi kepala sekolah tidak berjalan dengan baik. Paling utama untuk megatasi persoalan ini yaitu adanya pemetaan bersama-sama pada tingkat provinsi untuk masing-masing kabupaten/kota.
Masalah yang muncul yaitu tidak siapnya lembaga bentukan pemerintah untuk menangani kepala sekolah. LPPKS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) akan banyak mengurus seluruh kepala sekolah di Indonesia, tentu saja membutuhkan mekanisme kerja yang baik. Walaupun memang pendidikan dan latihan dikerjakan oleh institusi lain, tetapi LPPKS tetap menjadi lembaga pemberi lisensi yang semestinya akan terus memantau kepala sekolah dan calon-calonnya.
Akhirnya, ketakutan akan kondisi sertifikasi kepala sekolah yang akan sama dengan kondisi sertifikasi guru tidak akan terjadi jika semua pihak yang terlibat dalam sistem mau dan mampu bekerja dengan baik. Perbaikan mutu kepala sekolah tentu saja juga ditunjang oleh perbaikan mutu guru. Kalau sertifikasi guru dapat berjalan baik, maka sertifikasi kepala sekolah juga akan baik, begitu sebaliknya.
KESIMPULAN
Lisensi kepala sekolah sampai hari ini belum dilaksanakan dengan baik, bahkan peraturan mengenai ini pun belum ada. Pelaksanaan lisensi kepala sekolah bukan tidak mungkin akan menghadapi persoalan-persoalan pelik seperti halnya sertifikasi pada guru. Sertifikasi guru dijadikan landasan kajian, terutama untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari sertifikasi kepala sekolah. Kondisi sertifikasi guru yang ternyata memiliki prolematika tidak sedikit memang menjadi sebuah keraguan bagi lisensi calon kepala sekolah. Keraguan tersebut berpulang pada keberadaan calon kepala sekolah yang notabene guru. Tentu akan banyak dijumpai kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi oleh calon-calon kepala sekolah, di sisi lainnya tentu saja akan mengundang kecurangan dari oknum-oknum yang mengabaikan perbaikan mutu pendidikan. Ketakutan akan kondisi lisensi kepala sekolah yang akan sama dengan kondisi sertifikasi guru tidak akan terjadi jika semua pihak yang terlibat dalam sistem mau dan mampu bekerja dengan baik. Perbaikan mutu kepala sekolah tentu saja juga ditunjang oleh perbaikan mutu guru. Kalau sertifikasi guru dapat berjalan baik, maka lisensi kepala sekolah juga akan baik, begitu sebaliknya.
DAFTAR RUJUKAN
Amstrong. 1977. The Process Education. New York: Vintage Boo.
Atmono,D.2006. Renumerasi dan Masalah Pengembangan Profesi Guru. Manajemen Pendidikan. Volume 19 Nomor 1 Maret 2006:77-88.
Case, K.A.N.2009. Guru profesional Penyiapan dan Bimbingan Praktisi Pemikir. Jakarta: Indeks.
Cushway, Barry dan Derek Lodge. 1995. Organizational Behaviour and Design. Terjemahan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Darmaningtyas. 2009. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta. LKiS.
Direktorat PMPTK. 2004. Kemampuan Guru CPNS. Jakarta
Hidayati, T. 2008. Kajian terhadap Relevansi antara Kebijakan Sertifikasi dengan Peningkatan Kejahteraan Pendidikan dan Mutu Pendidikan. Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha Hotel Aston, 17-19 Nopember.
Kompas.2010. Sertifikasi Guru di Jatim Dipertanyakan. Halaman A
Priyatini, E.W .2007. Persepsi Guru terhadap Program Sertifikasi dan Hubungannya dengan Pengembangan Kemampuan Profesional Guru. Manajemen Pendidikan, Volume 20 Nomor 2 September 2007:98-106.
Rokhman, F. 2008. Studi Kebutuhan Pengembangan Kompetensi Profesional Guru Sebagai Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan. Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha Hotel Aston, 17-19 Nopember.
Sastroatmodjo, S.2009. Sertifikasi Guru Mesti Dibenahi. Kompas. Hal.A
Soetopo,H.200
9. Peranan LPTK dalam Menyiapkan Tenaga Kependidikan yang Berkualitas. Manajemen Pendidikan. Volume 20 Nomor 1 Maret 2009:52-65.
Subandowo,M.2009. Pengaruh Deferensiasi Motivasi Sosial terhadap Perilaku Profesional Guru. Jurnal Pendidikan & Pembelajaran, Volume 16 Nomor 2 Oktober 2009:149-161.
Suparno dan Kamdi, W.2008. Pengembangan Profesionalitas Guru.Malang: Universitas Negeri Malang.
Supriyoko, Ki. 2009. Memboikot Sertifikasi. Kompas, hlm. 4
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Waseso,M.G.1999.Kesulitan-Kesulitan yang Dihadapi oleh Mahasiswa dalam Studi di Program Sarjana. Ilmu Pendidikan. Tahun 26 Nomor 2 Juli 1999: 178-188.
Wijaya,C. 1994. Kemampuan Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Roesdakarya,
Wiyono, B.B.2008. Persepsi dan Sikap terhadap Program Sertifikasi, Keikutsertaan dalam Kegiatan Pengembangan dan Profesionalisme Guru. Manajemen Pendidikan, Volume 22 Nomor 2 September 2008:124-139.
Wiyono, B.B. dan Maisyaroh.2008. Pengembangan Model Pembelajaran Barbasis Portofolio (Portofolio Based Learning) pada Mata Kuliah Manajemen Hubungan Masyarakat. Manajemen Pendidikan. Volume 22 Nomor 1 Maret 2008:1-12.
Zamroni. 2008. Pedndidikan Guru di Masa Depan. Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha Hotel Aston, 17-19 Nopember.
Posting oleh Teguh Triwiyanto 9 tahun yang lalu - Dibaca 84741 kali
Seperti Ini Peran Orangtua Dampingi BDR Saat Pandemi
Sejak Maret 2020, sebagian besar siswa di Indonesia mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) atau belajar dari rumah...
Mengembangkan Kompetensi Kepala Sekolah di Masa Pandemi
Tidak hanya Belajar dari Rumah (BDR), kepala sekolah itu penuh tantangan dan peluang untuk mengembangkan kompetensinya....